Minggu
pagi yang cerah tapi nampak wajah Dika dan kakaknya Amanda tak secerah pagi
itu. Kedua kakak beradik itu nampak bosan duduk-duduk di depan TV sambil
sesekali menggonta-ganti chanel,
“Bu,
seharusnya di akhir libur semester ini kita pergi berlibur,” Kata Dika
dengan wajah cemberut.
“Memangnya Kamu
ingin berlibur kemana?” sahut Ibu dari dalam dapur.
“Coba kalau
kita berlibur ke Water Boom?” kata Amanda bersemangat.
Tiba-tiba
Suara deru mobil
memasuki halaman rumah.
“Ayah pulaaaang…!” teriak Dika
dengan cepat berdiri dan berlari menyambut Ayah,
Begitulah kebiasaan Dika, selalu
heboh ketika menyambut Ayah pulang. Tapi tiba-tiba Dika memperlambat laju
larinya. Dilihatnya ada sesuatu di tangan Ayah. Oh… dan juga di tangan Amanda.
Sesuatu yang dibungkus tas plastik warna hitam. Lumayan besar ukurannya.
“Nih, Dika, buatmu satu,” kata Ayah
sambil mengulurkan tas plastik itu pada Dika. Dika menerimanya dengan
penasaran. Apa ya ini? Dia melongok ke dalam tas plastik tersebut.
“Apa ini, Yah?” tanya Dika sambil
mengamati barang yang kini sudah dipegangnya. Diketuk-ketuknya, lalu
diusap-usap. Keras. Permukaannya juga kasar. Berbentuk dan diwarnai hingga
mirip sekali dengan ayam. Apa sih ini? Dika menatap Ayah dengan pandangan
bertanya.
“Itu celengan,” jelas Ayah sambil
melepaskan sepatu di ruang tamu.
“Celengan?” Dika mengangkat alisnya.
“Iya, celengan. Buat nabung,” ibu
yang menjawab.
“Nabung apa?” tanya Dika lagi.
“Ya, nabung uang dong. Masa’ nabung permen,”
tandas Amanda sambil masuk ke dalam kamar.
“Kakaaaak, kok gitu sih? Dika kan
nggak ngerti,” rajuk Dika.
Terdengar suara tawa Amanda.
“Makasih, Ayah!” teriaknya dari dalam kamar.
Ayah juga menambahkan,” Siapa yang
paling pintar menabung, ayah akan memberikan tambahan uang sebesar tabungan
kalian. Jadi kalau misalnya Manda dapat seratus ribu, nanti ayah akan memberi
tambahan seratus ribu lagi.”
“Benar yah?” jawab Amanda sumringah.
Ayah tertawa. “Iya, Manda. Nabung
yang rajin ya?!”
“Yaaaa!” jawab Amanda dari dalam
kamar lagi.
Sementara itu, Dika masih saja
mengamati barang yang disebut Ayah dengan celengan itu.
“Celengan itu untuk menyimpan uang,
Dika. Ayah rasa, kamu sudah cukup besar untuk mulai belajar menabung. Berapa
hayo, umurmu sekarang?” tanya Ayah.
“Tujuh!” sahut Dika sambil
mengacungkan tangan kanannya. Ups, tangan kirinya tak bisa diacungkan karena
sedang memegang celengan.
Ayah tersenyum geli. “Iya. Sudah
kelas satu pula. Iya kan? Sudah diajari tentang menabung belum sama Bu Guru?”
Dika menggeleng.
“Hmmm, nanti kamu juga akan diajari.
Jadi ini celengan untuk kamu menyimpan uangmu. Kamu kan selalu mendapatkan uang
jajan dari Ibu. Nah, mulai sekarang Dikajarlah untuk menyisihkan sedikit dari
uang jajanmu setiap hari untuk ditabung,” jelas Ayah.
“Kenapa?” tanya Dika, masih saja tak
mengerti.
“Dengan uang tabunganmu itu, kamu
bisa membeli apa saja yang kamu inginkan.”
“Apa saja, Yah?” Dika mulai
tertarik. “Bisa buat beli mainan?”
“Bisa.”
“Beli sepeda?”
“bisaaa...”
“Beli buku cerita?”
“Bisaaa...!”
“Katanya kamu mau berlibur ke Water
Boom?” sahut Ibu menambahkan.
“Iya Bu,” jawab Dika bersemangat.
“Makanya kalau mau pergi berenang
kalian harus menabung dong.” Sahut Ibu ketika masuk ke dalam ruang tamu”
Ayah tersenyum. “Semuanya bisa, asal
kamu rajin menabung. Kamu sisihkan uang jajanmu, lalu kamu masukkan ke dalam
celengan itu. Kamu nggak boleh mengambilnya jika belum penuh.”
“Tapi uang saku dari Ibu kan paling
cuma seribu aja, Yah. Emang bisa buat pergi ke Water Boom?” tanya Dika semakin
penasaran.
“Makanya dikumpulkan. Sedikit demi
sedikit kan jadi bukit. Maksudnya, kita ngumpulin uang sedikit-sedikit setiap
hari. Nah, suatu hari nanti akan terkumpul jadi banyak. Makanya jangan diambil
sebelum celenganmu penuh.”
“Ngambilnya gimana? Nggak ada
tutupnya gini, Yah?” Dika kembali membolak balikkan celengan itu.
Ayah tertawa. “Celengan itu dari
tanah liat. Kalo jatuh, ya pecah. Kayak gelas-gelasnya Ibu itu lho. Jadi, nanti
diambilnya ya dengan memecahkannya.”
Ibu tersenyum,
“Lho, berarti kalau udah pecah, nggak bisa
dipakai lagi dong!”
“Hahaha iya. Ya nggak apa-apa. Nanti
Ayah belikan lagi celengan yang baru. Tapi pokoknya, asal kamu rajin menabung.”
Dika terdiam. Benaknya dipenuhi
dengan pertanyaan, “Hmmm, kapan kita akan pergi ya?”
“Jadi, kamu mulai sekarang Dikajar
menabung ya?” kata Ayah sambil mengacak-acak rambut Dika.
“Siap, Yah!” sahut Dika sambil
menempelkan tangannya ke pelipis, bergaya bak tentara yang memberi hormat pada
komandannya.
Hihihi… Ayah tertawa.
***
Sejak Dika punya celengan, dia jadi
rajin sekali menabung. Setiap hari selalu disisihkannya uang lalu ditabungnya
di dalam celengan.
Setiap kali setelah dia memasukkan
uang ke dalam celengan, pasti celengan itu diguncang-guncangnya. Dia ingin
mendengar gemerincing uang koin dan gemerisik uang kertas yang ada di dalamnya.
Setiap kali pula, dia tersenyum puas setelah mendengarnya.
“Kak, punya Kakak udah berat belum?”
tanyanya.
“Belum terlalu. Punyamu?” Amanda
balik bertanya.
Dika kembali mengguncang-guncang
celengannya. “Mmm, belum juga.” Lalu diletakkannya kembali celengan itu di atas
meja Dikajarnya.
“Yahh, nggak apa-apa, Dik. Kalau
isinya uang kertas, dia memang ga terlalu berat. Kalau isinya uang logam sih,
pasti lebih berat.”
“Ooo, gitu ya?” Dika
mengangguk-angguk mengerti.
“Nggak usah dirasakan. Nanti
tahu-tahu dia akan penuh sendiri,” kata Amanda sambil tersenyum.
Benar juga. Dika meringis senang,
sambil membayangkan sedang berenang di Water Boom bersama kakaknya.
Pada suatu hari mbok Surti, pembantu
mereka menangis di Dikakang rumah. “Sepertinya mbok sedang ada masalah,” tanya
Dika
“Iya Den, anak mbok di kampung
sedang sakit dan minta kiriman uang lagi.”
“Kenapa tidak minta sama ibu saja
mbok,”
“Mbok malu, gaji mbok yang bulan
depan saja sudah mbok minta dan sudah mbok kirim ke kampung seminggu yang lalu.
Ternyata biaya rumah sakitnya sangat mahal jadi uang yang mbok kirim kemarin
kurang.”
Mendengar orang tua yang sudah
mengurusnya selama bertahun-tahun itu bersedih Dika menjadi sangat kasihan,”Sebentar
ya mbok.”
Dika berdiri dan masuk ke dalam
kamar. Ia mengambil celengan ayam, dengan hati-hati
Amanda melihat tingkah laku adiknya bertanya keheranan,” Lho Adik ngapain mengambil uang tabungan?”
Amanda melihat tingkah laku adiknya bertanya keheranan,” Lho Adik ngapain mengambil uang tabungan?”
Dika diam, seperti berpikir sesuatu.
Tangan kanannya menopang dagu, tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja Dikajar.
Serius sekali, nampaknya.
“Kamu ingin apa?” tanya Amanda
penasaran.
Dika tak menjawab, malah berlari ke
dalam kamarnya. Tak berapa lama…
PRANG!
Tiba-tiba terdengar sesuatu yang
pecah dari dalam kamar Dika. Tergopoh-gopoh Amanda berlari masuk ke kamar Dika
untuk melihat apa yang terjadi.
Betapa kagetnya Amanda melihat Dika
sedang berjongkok. Di hadapannya ada celengan ayam, yang diberi oleh Ayah tempo
hari, sudah pecah berserakan.
“Dika? Ada apa ini?” Amanda buru-buru
menghampiri Dika yang sedang memunguti uang di antara pecahan celengan.
“Iya, ada seseorang yang sedang membutuhkan
uang ini.” Jawab Dika sambil merapikan uang-uang yang berserakan di meja.
Setelah dihitung ia segera berdiri dan keluar tanpa mempedulikan Amanda yang
masih terbengong-bengong di depan pintu kamar Dika.
Dika menyerahkan uang dari dalam
celengannya pada mbok Surti, ” Mbok bisa ngirim uang ini ke kampung. Memang
nggak banyak jumlahnya, tapi Dika harap bisa sedikit membantu anak mbok.”
“Ya ampun, Den. Sebanyak ini uang
siapa. Nanti salah-salah malah mbok yang dimarahi sama ibu.,”
“Tenang saja mbok, ini uang tabungan
Dika di celengan.”
“Terima kasih ya Den.” Mbok Surti
menangis haru menerima uang dari Dika.
Amanda yang masih penasaran mengikuti
Dika dan mengawasi apa yang dilakukan Adiknya dengan uang dari celengan ayam
miliknya. Karena penasaran Amanda mencegat dan menanyai Dika ketika Adiknya itu
masuk ke dalam rumah.
“Kamu ini bodoh atau apa sih,
ngumpulin uang lagi kan susah, memangnya kamu nggak mau pergi ke Water Boom.”
“Ya kepingin pasti. Aku kan bisa
mulai ngumpulin uang lagi.”
Menjelang liburan tiba ayah dan ibu
meminta Dika juga Amanda membawa celengannya masing-masing. Di ruang makan
kedua celengan itu dibuka. Bisa dipastikan celengan Amanda lah yang paling
banyak jumlahnya. Amanda berhasil mengumpulkan Dua ratus liam puluh ribu rupiah
seddangkan Dika hanya mengundapatkan lima puluh lima ribu rupiah.
“Berarti Amanda yang menang,” teriak Amanda kegirangan,” Ayah janji kan mau nambahin uang Amanda sebanyak isi celengan ayam ini.”
“Berarti Amanda yang menang,” teriak Amanda kegirangan,” Ayah janji kan mau nambahin uang Amanda sebanyak isi celengan ayam ini.”
“Dulu ayah kan bilangnya siapa yang
paling pintar menabung yang akan ayah beri tambahan, bukan berarti yang paling
banyak lho,” kata ayah yang membuat Amanda dan Dika bingung.
“Maksud ayah……….” Tanya Dika ingin
tahu.
“Ayah tahu kalau Dika sudah
membongkar celengannya dan memberikan uang itu pada mbok Surti, benarkan Dika.”
“Iya ayah,” Dika takut kalau-kalau
ayah akan marah dengan tindakannya itu.
“Ayah bangga dengan apa yang
dilakukan Dika. Ia tahu kalau mbok Surti lebih membutuhkan uang itu.”
“Jadi kak Dika dong yang menang.” Amanda
jadi sedih.
“Dua-duanya menang, karena kedua
anak ayah sama pintarnya menabung, jadi ayah akan memberikan tambahan
masing-masing dua ratus lima puluh ribu.”
“Tapi janji ya, nanti kalian harus
,membayar uang masuk dan jajan dengan uang kalian sendiri,” tambah ibu.
Menabung itu baik, tapi akan sangat
baik kalau kita juga tahu bagaimana menggunakan uang tabungan itu.
karya: lulut sugiarti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar